Pengesahan RKUHP Demi Wujudkan Kepastian Hukum
Pengesahan RKUHP Demi Wujudkan Kepastian Hukum
Oleh : Alula Khairunisa )*
Mendukung penuh segala proses penyusunan hingga pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berarti sama dengan turut membuat hadirnya kepastian hukum di Indonesia. Pasalnya, KUHP yang ada saat ini penuh akan ketidakpastian hukum.
Sejauh ini memang masih terjadi pro dan kontra RKUHP yang digagas oleh pemerintah dan DPR RI. Beberapa pihak masih terus mempertanyakan pasal-pasal yang mereka anggap masih kontroversi. Namun sejatinya, menurut Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, pihak-pihak yang masih menolak adanya RKUHP berarti sama saja mereka mendukung adanya status quo.
Bahkan dengan tegas Wamenkumham tersebut menyatakan bahwa menolak RKUHP artinya sama dengan ingin terus mempertahankan ketidakpastian hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, pasalnya ketika Tanah Air masih terus menggunakan KUHP lama peninggalan kolonial Belanda sebagai sistem hukumnya, akan semakin banyak irelevansi yang ditemukan seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya jaman karena dinamika sosial dan hukum modern terus berubah dengan cepat.
Dia menjelaskan, KUHP peninggalan Belanda (Wetboek van Straftrecht/WvS) sudah berusia 222 tahun. Kemudian pada 1946 silam, sudah mulai ditetapkan menjadi UU namun belum pernah ada terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia sama sekali sehingga tak heran, sering terjadi multitafsir di dalamnya. Bukan hanya itu, beberapa paradigma yang digunakan nyatanya sama sekali tidak sesuai dengan bagaimana filosofis masyarakat Indonesia sendiri.
Masih terkait dengan kendala bahasa, KUHP yang berlaku saat ini masih dalam versi bahasa asli, yakni bahasa Belanda. Terjemahan yang sekarang beredar ditengah masyarakat adalah terjemahan tidak resmi dari sejumlah pakar hukum pidana. Ada versi Moeljatno, versi Andi Hamzah, versi Sunarto Surodibroto, versi R. Susilo dan versi Badan Pembinaan Hukum Nasional. Justru karena semakin banyaknya versi terjemahan yang ada, akan menambah ketidakpastian pelaksanaan sistem hukum itu sendiri karena bukan tidak mungkin setiap versi terjemahan bisa saja memiliki arti yang sedikit berbeda sehingga berpengaruh pula dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Eddy sangat menyorot perkara adanya ketidakpastian hukum yang terjadi selama ini di Indonesia. Menurutnya hal itu sama sekali tidak mencerminkan nilai ideal dari suatu produk hukum karena justru menimbulkan banyak persepsi akibat ada banyaknya versi terjemahan yang beredar. Padahal hukum sejatinya harus benar-benar tegas dan jelas maksud dan tujuannya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menambahkan bahwa terdapat persoalan lain lagi jika Indonesia masih terus memaksakan untuk menerapkan KUHP lama peninggalan Belanda sebagai sistem hukumnya. Masalah tersebut terletak pada dimensi waktu dan dimensi tempat yang menurutnya sama sekali sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat sekarang. Terlebih masyarakat saat ini sudah sangat berkembang dengan masuknya era digital.
Maka dari itu, secara tegas Marcus juga mengungkapkan bahwa hukum pidana yang berlaku di Indonesia sangat wajib untuk bisa disesuaikan dengan bagaimana perkembangan dinamika masyarakat yang ada. Tentu tidak akan mungkin jika suatu negara masih terus menggunakan sebuah sistem hukum padahal sebenarnya sudah banyak terjadi irelevansi di dalamnya.
Lebih lanjut, Guru Besar Hukum Pidana UGM itu menjelaskan bahwa upaya untuk bisa segera melakukan revisi akan KUHP lama peninggalan Belanda sebenarnya juga sudah terus dilakukan berkali-kali, bahkan sejak tahun 1958 silam. Namun draf resmi pertama kali dirilis pada 1993. Hal itu juga memperkuat bahwa sejatinya para penggagas Bangsa ini sejak dulu sudah mulai merasa tidak cocok atau tidak sesuai apabila penggunaan KUHP lama terus dilanjutkan. Bukan hanya itu, namun dengan panjangnya waktu pembahasan tersebut, berarti semakin menambah nilai positif bahwa RKUHP ini benar-benar dikerjakan dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan sehingga tidak asal-asalan atau tergesa-gesa tanpa berpikir panjang.
Sejauh ini sebenarnya proses pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia, dari sebelumnya menggunakan KUHP lama peninggalan Belanda untuk bisa diganti dengan RKUHP rancangan anak Bangsa sendiri memang telah memakan waktu yang sangat lama, yakni sudah mulai diinisiasi bahkan sejak lama. Ketua Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Arief T. Surowidjojo melihat hal tersebut sebagai bentuk upaya kehati-hatian dalam menangkap segala persoalan dan merumuskan aturan di tengah-tengah masyarakat sehingga tidak bisa secara sembarangan begitu saja tiba-tiba merubah aturan tanpa proses kajian sangat mendalam.
Ketua STH Indonesia Jentera tersebut menegaskan pula bahwa sejauh ini perkembangan sistem hukum pidana di Indonesia meliputi hal-hal bersifat universal seperti peran negara dan aparat penegak hukum, termasuk di dalamnya terdapat hak-hak dasar dan hak konstitusional warga negara. Maka semuanya memang sangat penting untuk bisa dirumuskan dalam kerangka konstitusi. Selain itu, pembaruan hukum pidana juga sangat membutuhkan pendekatan yang berbeda karena perkembangan jaman serta perubahan di tengah masyarakat sekarang ini sudah sangat dinamis, sehingga jelas tidak memungkinkan jika sistem hukum KUHP lama masih digunakan.
Dengan kata lain, sudah jelas bahwa proses peralihan KUHP lama menjadi RKUHP yang merupakan murni produk buatan anak Bangsa Indonesia memerlukan dukungan yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat. Mendukung pengesahan dan diundangkannya RKUHP berarti sama saja akan membantu dengan segera kehadiran kepastian hukum di Tanah Air.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara