RKUHP Harus Segera Disahkan

RKUHP Harus Segera Disahkan

Oleh : Bima Aditya Prakarsa *)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) rencananya akan disahkan oleh pemerintah menjadi Undang-undang (UU) pada masa sidang DPR RI akhir tahun ini. Indonesia sampai saat ini belum memiliki panduan hukum pidana murni buatan bangsa sendiri, KUHP yang digunakan saat ini adalah warisan Belanda. Maka dari itu sangat penting RKUHP untuk segera disahkan dimana nantinya dapat menjadi wujud nyata hukum sebagai jiwa bangsa Indonesia.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD dalam Diskusi Publik RKUHP di Hotel Mercure, Surabaya, Jawa Timur, mengatakan RKUHP rencananya akan segera disahkan menjadi undang-undang akhir tahun ini. Pengesahan RKUHP akan berproses di DPR RI dimana nantinya dalam pengesahan tersebut juga dilakukan bersama dengan pemerintah pusat.

Mahfud mengklaim draf RKUHP terbaru sudah mengakomodasi banyak hal dari mulai berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, dan lain sebagainya dimana RKUHP ini akan menjadi visi bersama tentang Indonesia. Kendati begitu, sebenarnya ada beberapa isu krusial yang disetujui DPR RI pada RKUHP.

Isu krusial tersebut diantaranya terkait Living Law atau hukum yang hidup di tengah masyarakat atau adat. Pada RKUHP nanti hukum adat diakui dan dapat diterapkan. Kedua, mengenai pidana mati dimana dalam RKUHP terbaru pidana mati ditempatkan paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Ketiga, mengenai kebebasan berpendapat. Poin penting terkait isu ini ialah penghinaan kepada kepala negara yang diatur dalam pasal 218 RUU KUHP.

Ke empat, terdapat pasal terkait santet dan guna-guna. Ini menyasar mereka yang mengiklankan diri memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Kelima penghapusan pasal tentang dokter dan dokter gigi yang menjalankan pekerjaan tanpa izin. Hukumannya tidak dalam bentuk kurungan badan.

Ke enam, unggas yang merusak kebun/tanah yang telah ditaburi benih (pasal 277 RKUHP) dimana pasal ini juga menyangkut hewan ternak yang merusak tanaman, kebun atau sawah. Ketujuh, tentang penodaan agama (pasal 302 RUU KUHP). Pasal ini menyasar pada tindakan yang menunjukkan upaya permusuhan, menghasut dan penghinaan terhadap agama tertentu.

Kedelapan, tindak pidana penganiayaan hewan (pasal 340 RUU KUHP). Contohnya, eksploitasi hewan dengan tujuan yang tidak patut seperti topeng monyet. Kesembilan, terkait aborsi (pasal 467 RUU KUHP). Pelaku aborsi tidak dapat di pidana bagi korban perkosaan apabila usia kehamilan di bawah 6 minggu.

Kesepuluh, menyangkut ruang privat masyarakat terkait keasusilaan misalnya perzinahan. Contohnya pasangan yang belum menikah tapi sudah bersama seperti dalam perkawinan dapat dihukum. Kesebelas, penggelandangan masyarakat. Gelandangan dapat diproses hukum ketika mengganggu ketertiban umum. Keduabelas, tindakan menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak. Ketigabelas, upaya contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan. Dan, keempatbelas penghapusan pidana pengacara curang.

Sejalan dengan Mahfud MD, anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan mengatakan bahwa RKUHP akan menjadi UU pada masa sidang DPR RI tahun ini. Ia menilai, sudah tidak ada lagi hal-hal yang dapat menunda pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Apalagi, Kemenkumham masif melakukan sosialisasi RKUHP ke berbagai elemen masyarakat.

Arteria juga mengapresiasi inisiatif-inisiatif yang dilakukan Kemenkumham untuk terus melakukan sosiasisasi terkait RKUHP tersebut dan melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk seluruh stakeholder. Utamanya, terus menjelaskan isu- isu krusial dalam RKUHP yang dipersoalkan oleh berbagai kalangan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej saat menyampaikan pidato kunci dalam kegiatan “Kumham Goes to Campus” di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, memaparkan tiga alasan RKUHP mendesak untuk segera disahkan.

Pertama, KUHP yang digunakan dalam penegakan hukum di Tanah Air saat ini disusun pada tahun 1800 atau telah berusia sekitar 222 tahun, sehingga aliran hukum pidana yang dianut adalah aliran klasik. Padahal, aliran pidana klasik lebih menitikberatkan pada kepentingan individu sehingga diperlukan KUHP yang baru melalui pengesahan RKUHP untuk menggantikan aliran tersebut.

Kedua, KUHP yang ada sudah out of date dan tidak lagi up to date. Oleh karena itu, kita harus menyusun yang baru dengan berorientasi pada hukum pidana modern. Hukum pidana modern merupakan aliran hukum yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

Alasan yang ketiga adalah KUHP yang digunakan saat ini oleh para penegak hukum polisi, jaksa, maupun hakim tidak menjamin kepastian hukum. Adapun penyebab KUHP yang digunakan saat ini tidak dapat menjamin kepastian hukum adalah banyak ahli yang menerjemahkannya dengan hasil terjemahan yang berbeda-beda.

Edward mencontohkan perbedaan terjemahan KUHP dari para ahli hukum itu adalah terkait dengan Pasal 362 KUHP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa seseorang yang mengambil barang ataupun sesuatu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Dalam pasal tersebut, Prof. Moeljanto menerjemahkan sebagai tindakan melawan hukum tetapi R. Soesilo menerjemahkan sebagai melawan hak. Dua hal itu serupa, tapi tidak sama. Menurut Edward melawan hak pasti melawan hukum, tapi melawan hukum belum tentu melawan hak. Oleh karena itu, RKUHP mendesak untuk segera disahkan guna mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

 

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute