RKUHP Membawa Misi Pembaharuan

RKUHP Membawa Misi Pembaharuan

Oleh: Ratna Syarifuddin *)

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiarij memberikan kuliah umum dalam kegiatan bertema “Kumham Goes to Campus” di Universitas Cendana, Kota Kupang, NTT pada Rabu, 02 November 2022 lalu. Dalam kunjungannya ke Undana Kupang, Edward Omar atau yang akrab disapa Eddy didampingi jajaran dari Kemenkumham dan Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone. Kegiatan “Kumham Goes to Campus” ini diikuti oleh ratusan mahasiswa, dosen, beserta jajaran rektorat Undana. Dalam kegiatan ini, Eddy mengemukakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dipersiapkan membawa 5 (lima) misi pembaruan.

Diketahui sebelumnya, RKUHP menuai banyak kritikan tajam dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Beberapa pasal yang dimuat dalam draf RUU dinilai multitafsir dan berpotensi menjadi pasal karet. Misalnya, hukum yang hidup di dalam masyarakat (life in law), pidana mati, penodaan agama, penghinaan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, hukum aborsi, pencabulan, perzinaan, perselingkuhan dan poligami. Menurut Eddy, hukum pidana tersebut masih dikaji lebih mendalam.

Eddy juga menjelaskan bahwa menyusun KUHP di Indonesia yang multi etnis, multi religi, dan multi culture bukan perkara mudah. Ada beberapa pihak yang merasa tidak diuntungkan dari adanya RKUHP ini. Nyatanya, RKUHP itu sendiri merupakan wujud negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Negara hukum inilah yang tentunya memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum RKUHP. Pemerintah juga telah berupaya membuka ruang publik seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyerap aspirasi dan menyamakan persepsi agar tidak lagi yang menyuarakan isu pemerintah tidak berkeadilan.

Hingga kini pemerintah masih menerima masukan-masukan dan saran dari masyarakat sebelum KUHP disahkan menjelang akhir tahun 2022. Eddy mengatakan pihaknya akan menargetkan penuntasan draf terbaru RKUHP secepatnya. Ia mengaku tidak ingin penyempurnaan KUHP ini berulang seperti kejadian UU Cipta Kerja, dimana ada ayat yang berbunyi berhubungan dengan ayat lainnya, padahal ayat tersebut tidak ada.

Oleh karena itu, draf RKUHP yang saat ini sedang disempurnakan dinilai membawa misi perubahan atau pembaharuan bagi kebijakan hukum di Indonesia. Pertama, misi dekolonisasi yakni upaya-upaya menghilangkan hukum kolonial yang terdapat dalam buku satu sebagai keunggulan RKUHP. Kedua, misi demokratisasi yang telah disebutkan sebelumnya yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjamin kebebasan berbicara, berekspresi, dan berpendapat, namun kebebasan-kebebasan itu dibatasi. Aturan tersebut sudah diperbarui dalam RKUHP saat ini yang telah disesuaikan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, misi harmonisasi dan sinkronisasi di mana harus dilakukan terhadap sekitar 200 undang-undang sektoral di luar KUHP yang memuat beberapa ancaman pidana dengan berbagai model dan modifikasi. Misi ini bertujuan agar KUHP tidak menyalip dan saling melengkapi satu sama lain. Keempat, misi konsolidasi karena setelah Perang Dunia (PD) II, perkembangan zaman menimbulkan efek negatif berupa kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru yang tidak dapat ditampung dalam KUHP.

Dengan demikian yang terjadi adalah dekodifikasi, yaitu mengeluarkan beberapa pasal dalam KUHP yang menjadi undang-undang tersendiri. Eddy mencontohkan seperti kejahatan jabatan dijadikan dalam Undang-Undang Korupsi, kejahatan pemilu dijadikan dalam Undang-Undang Pemilu, dan kejahatan lainnya.

Politik hukum yang digunakan dalam RKUHP ini adalah rekodifikasi sebagai perwujudan dari misi konsolidasi, yaitu menghimpun berbagai ketentuan di luar KUHP dimasukkan ke dalam KUHP. Maksudnya, misi rekodifikasi terbuka yaitu masih membuka untuk tindak pidana lain tapi terbatas dengan serangkaian prasyarat KUHP yang termasuk tindak pidana khusus seperti terorisme, pelanggaran HAM berat, narkotika, korupsi, dan money laundering. Sekitar 75-80% KUHP yang sekarang sedang digunakan tetap dipertahankan, akan tetapi ditambahkan pada bab terakhir yaitu Bab 34. Untuk berbagai tindak pidana khusus, hanya diambil core crimesnya saja.

Kelima, misi modernisasi yang artinya berorientasi pada paradigma hukum pidana modern seperti keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Modernisasi ini mengacu pada perkembangan dalam dunia internasional khususnya ketentuan yang sudah dirumuskan dalam Treaty Bodies.

Selain itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo atau Tuti menjelaskan tentang pedoman pemidanaan yaitu pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan derajat manusia, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan, dan jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes), Ali Masyhar berharap sosialisasi yang dilakukan oleh Wamenkumham dalam kegiatan “Kemkumham Goes to Campus” dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik sehingga KUHP yang nantinya telah ditetapkan selaras dengan jiwa Pancasila.

 

*)Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institut