Penyusunan RKUHP Libatkan Partisipasi Publik

Penyusunan RKUHP Libatkan Partisipasi Publik

Oleh: Ayu Sri Mulyadi *)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada hakekatnya merupakan suatu upaya pemerintah dalam melakukan pembaharuan atau restrukturisasi keseluruhan sistem hukum pidana yang terdapat dalam KUHP lama atau Wetboek van Straftrecht (WvS) peninggalan zaman Kolonial Belanda.

Restrukturisasi ini mengandung arti “menata kembali” yang bertujuan untuk melakukan penataan ulang bangunan sistem hukum pidana nasional. Selain itu, RKUHP mengemban 4 (empat) misi utama, yaitu Dekolonisasi KUHP peninggalan atau warisan Kolonial Belanda. Kedua, Demokratisasi hukum pidana yang ditandai dengan dimasukannya tindak pidana terhadap Hak Asasi manusia (HAM), hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang merupakan tindak pidana materiil. Ketiga, Konsolidasi hukum pidana dimana pemerintah melakukan penataan kembali kerangka asas-asas hukum pidana dalam KUHP. keempat, Adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, serta norma yang diakui oleh dunia internasional.

RKUHP itu sendiri seharusnya sudah disahkan pada September 2019, namun karena masih ditemukan beberapa pasal yang kontroversial maka pengesahan tersebut ditunda hingga saat ini dan rencana akan disahkan sebelum akhir tahun 2022. Ada banyak ketentuan baru yang diatur dalam RKUHP. Tepatnya, ada 10 hal dalam RKUHP yang dinilai penting oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo diantaranya tidak membedakan kategori kejahatan dan pelanggaran, asas legalitas dengan mengakui living law, tujuan pemidanaan, jenis pidana, alasan pemaaf dan pemberat pidana, pemaafan peradilan (judicial pardon), alternatif pidana penjara, denda, pidana tambahan, dan tindakan.

‘Kumham Goes to Campus’ menjadi salah satu ajang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumhan) dalam melakukan sosialisasi dan dialog publik terkait RKUHP di kalangan mahasiswa. Universitas Udayana, Bali merupakan lokasi terakhir program ‘Kumham Goes to Campus’ yang bertujuan untuk berdialog dengan mahasiswa dan anak muda. Eddy Hiariej mengaku banyak mendapat masukan dari para mahasiswa Universitas Udaya termasuk masukan secara tertulis yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam rapat pembahasan terkait RKUHP di DPR RI.

Lanjutnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan terdapat 3 (tiga) alasan utama mengapa RKUHP penting dan mendesak untuk segera disahkan. Pertama, KUHP yang saat ini digunakan disebut dalam era aliran hukum pidana yang klasik sehingga hukum pidana yang digunakan semata-mata sebagai sarana balas dendam atau ‘lex salionis’ (mata ganti mata). Kedua, KUHP saat ini sudah “out of date” di mana sudah tidak relevan dengan era 4.0 yang serba digital. Terakhir, terjemahan dan tafsir KUHP yang berbeda-beda antara para ahli termausk oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Dengan demikian, diharapkan KUHP yang baru selain sudah berorientasi pada hukum pidana modern juga sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Pengamat Birokrasi yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesian Bureaucracy and Service Watch (IBSW), Nova Andika berharap pemerintah terus melakukan dialog publik dan sosialisasi untuk menyerap aspirasi masyarakat terhadap RKUHP. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih memahami dan ikut terlibat dalam memberikan masukan sebelum RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Nova juga mengapresiasi keseriusan pemerintah dalam hal ini yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang melibatkan masyarakat dalam menyusun RKUHP dengan rutin digelarnya dialog publik dan sosialisasi di sejumlah daerah demi kesempurnaan RKUHP, terutama membahas beberapa pasal yang menimbulkan perdebatan dan polemik di masyarakat.

IBSW telah mencatat dialog publik ini sudah dilakukan di 11 kota diantaranya Medan, Padang, Bandung, Denpasar, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Makassar, Manado, Ternate, dan Sorong. Hasilnya, pemerintah telah berhasil menyerap 53 item masukan dari masyarakat. Jadi, proses dialog publik ini bukan basa-basi semata untuk pencitraan melainkan memang dilakukan demi mencapai kesempurnaan hukum pidana yang adil bagi seluruh elemen masyarakat. Agenda dialog publik ini juga dilakukan dalam rangka melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo yang meminta jajaran Kemenkumham untuk menyerap dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dengan kembali melakukan sosialisasi.

Berdasarkan masukan-masukan tersebut, Eddy Hiariej menyatakan terjadi perubahan jumlah pasal dalam RKUHP menjadi 627 pasal yang awalnya memiliki 632 pasal. Lima pasal yang dihapus diantaranya terkait dengan advokat curang, praktik dokter dan dokter gigi, penggelandangan, unggas dan ternak, serta tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup. Ia menambahkan, 5 (lima) pasal yang dihapus merupakan masukan beberapa akademisi termasuk dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Masukan-masukan dari masyarakat itu dikelompokan dalam 4 (empat) kategori yaitu penghapusan seperti 5 (lima) pasal yang telah dihapus, reformulasi, penambahan, dan reposisi.

Reformulasi antara lain merupakan penambahan kata ‘kepercayaan’ di pasal-pasal yang mengatur persoalan agama. Kemudian, mengubah frasa ‘pemerintah yang sah’ menjadi ‘pemerintah’ serta mengubah penjelasan pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam kategori penambahan, tim perumus RKUHP menambahhkan satu pasal terkait penegasan beberapa tindak pidana kekerasan seksual. Sedangkan untuk kategori reposisi, RKUHP mereposisi 3 (tiga) pasal mengenai tindak pidana pencucian uang menjadi 2 (dua) pasal tanpa ada perubahan substansi. Apabila semua kritik dan masukan terkait RKUHP sudah terpenuhi, maka bisa dilakukan pengesahan oleh DPR RI.

 

*) Penulis merupakan contributor Nusa Bangsa Institut.