Sosialisasi dan Partisipasi Publik Prioritas Pembahasan RKUHP

Jakarta – Sosialisasi dan partisipasi seluruh masyarakat menjadi prioritas utama dari segala proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggandeng beberapa pihak lainnya.

Pemerintah terus berupaya agar seluruh proses pengadaan, mulai dari perencanaan hingga berbagai macam pembahasan mengenai RKUHP menjadi sangat transparan bahkan ke semua masyarakat Indonesia. Mengenai hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa bukan hanya pihaknya saja yang terus menggencarkan sosialisasi.

Bahkan, sosialisasi juga dibantu oleh banyak pihak lainnya seperti Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Agama, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Lebih lanjut, menurut Wamenkumham memang sangat penting adanya masukan dari publik karena nantinya RKUHP ini akan menjadi sebuah sistem hukum yang dianut dan diberlakukan di Tanah Air, yangmana akan mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat, sehingga memang sudah sepatutnya masyarakat sendiri mengetahui dan mengamininya.

Jangan sampai adanya peraturan yang ditetapkan sama sekali tidak cocok dengan cara hidup di masyarakat, utamanya jika berhadapan dengan dinamika sosial yang terjadi dengan sangat cepat belakangan ini.

Bukan hanya sekedar formalitas belaka, melainkan benar-benar seluruh masukan dari masyarakat diserap dan dipertimbangkan dalam pembahasan RKUHP. Terbukti dengan adanya penambahan penjelasan dan pengurangan pasal pada draf RKUHP usai sejumlah sosialisasi dilakukan ke masyarakat. Seperti yang disampaikan Wamenkumham, ada lima pasal yang dihapus setelah adanya masukan dari masyarakat dan akademisi.

Hal tersebut juga menjadi bukti konkret bahwa memang pembuatan RKUHP ini tidaklah menggunakan hanya satu sudut pandang saja dan dilakukan secara top-down, melainkan juga menganut banyak sekali sudut pandang dan terus berupaya untuk diterapkan secara bottom-up.

Beberapa pertimbangan yang dilakukan bahkan sampai dilakukannya revisi pada draft RKUHP menurut Prof Eddy berasal dari banyak elemen masyarakat, beberapa diantaranya dari para akademisi, termasuk juga adanya masukan dari pihak media yang memberikan beberapa kritik mengenai pasal dalam RKUHP.

Penghapusan dilakukan pada pasal-pasal tentang advokat curang, dokter tanpa izin, penggelandangan, unggas atau ternak yang melewati pekarangan, termasuk dua tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Mengenai pasal tentang lingkungan hidup ini, Wamenkumham menjelaskan bahwa pihaknya juga menerima masukan dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pihak KLHK sendiri meminta bahwa adanya pasal mengenai tindak pidana di bidang lingkungan hidup supaya dihapus saja. Mereka meminta agar peraturan mengenai hal itu bisa dikembalikan saja sesuai dengan Undang-Undang sektoral. Bagi Prof Eddy sendiri, pihaknya menyadari sepenuhnya bahwa memang masalah kejahatan lingkungan menjasi sesuatu yang kompleks untuk bisa ditangani. Maka dari itu, menurutnya, selama memang sudah ada aturan yang tegas dan rinci mengatur kejahatan lingkungan, maka semuanya sudah selesai.

Selanjutnya, terkait pasal tentang penyerangan harkat dan martabat yang masih jadi pertanyaan di kalangan masyarakat. Menurut dia, ada beberapa masukan dari beberapa akademisi terkait pasal tersebut. Sejauh ini memang pasal itu sempat menjadi polemik di tengah publik, akhirnya telah direvisi dan sanksi pidananya diturunkan sesuai modified delphie method.

Justru, tatkala terjadi dialog antara Kemenkumham dengan salah satu akademisi asal Medan, yakni Dr. Mahmud, dirinya berkata supaya pasal tentang penyerangan harkat dan mertabat itu tetap saja dimasukkan dalam RKUHP dan tak perlu dihapus. Meski begitu, Dr. Mahmud meminta supaya terdapat penjelasan yang tegas bahwa yang dimaksudkan dengan penyerangan harkat martabat presiden itu adalah menista dan memfitnah.

Karena dengan adanya keterangan yang jelas dan tegas tersebut, maka akan menghindari kemungkinan adanya kesalahan penafsiran dalam penerapan pasal ini pada RKUHP ketika nanti sudah disahkan. Secara otomatis, juga akan meminimalisasi kemungkinan untuk orang mudah saling melaporkan hanya karena dianggap meyerang harkat martabat presiden. Akhirnya, karena usulan dari Dr Mahmud, Wamenkumham pun menambahkan bahwa usulan itu sudah diwadahi dan draft kembali direvisi dengan ditambahkannya penjelasan sebagaimana yang dimaksudkan.

Kemudian yang kedua, lanjutnya, masukan dari mahasiswa hukum saat dialog publik di Jakarta. Menurutnya, penyampaian aspirasi yang dilakukan oleh para mahasiswa selama ini, seperti adanya berbagai forum hingga unjuk rasa, sama sekali bukanlah permasalahan.

Masih bersinggungan dengan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden, Wamenkumham menjelaskan bahwa masukan dari mahasiswa ini juga sudah ditampung sebagai bentuk pengawasan, koreksi hingga saran yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Dalam penjelasan pasal yang menyerang harkat dan martabat presiden itu dikatakan bahwa tidak termasuk sebagai penyerangan harkat dan martabat presiden apabila itu disampaikan dalam rangka kepentingan umum atau pembelaan diri. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kritik terhadap kebijakan presiden dan atau wakil presiden.

Berbagai revisi dan penyerapan aspirasi dari seluruh elemen masyarakat mengenai pembahasan RKUHP sudah dilakukan oleh pemerintah dengan semaksimal mungkin. Bahkan, hal tersebut, yakni gencarnya melakukan sosialisasi hingga partisipasi publik memang masih menjadi prioritas dalam pembahasan RKUHP.