Lingkungan Pendidikan Wajib Tangkal Penyebaran Radikalisme

Kegiatan Belajar Mengajar

Oleh : Alif Fikri )*

 

Pendidikan yang baik tidak hanya mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, pendidikan yang baik juga mampu mencegah penyebaran paham radikal sehingga sekolah tidak menjadi inkubator radikalis.

Aksi terorisme berawal dari sikap ekstremisme, intoleransi dan radikalisme. Hal tersebut merupakan kejahatan lintas negera, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.

Sejak dini lembaga pendidikan perlu melakukan upaya guna mengantisipasi kondisi masyarakat akhir-akhir ini. Dengan semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia.

Hal tersebut telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas nasional, sebagaimana terjadi di Mapolsek Astana Anyar Bandung.

 

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur Hesti Armiwulan S

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur Dr Hj Hesti Armiwulan S, SH, M.Hum, CCD, CMC mengatakan, pendidik dan tenaga pendidikan merupakan salah satu pilar utama yang berperan penting dalam pencegahan ekstremisme yang berkembang di masyarakat khususnya untuk pencegahan di dunia pendidikan.

Tenaga Pendidik harus berperan dalam mendukung rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di dunia pendidikan.

Hesti menuturkan, tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini. Merupakan tantangan keberagaman masyarakat, di antaranya, orang dengan mudah mengumbar kebencian dengan bebas di Internet.

Setidaknya, ada tantangan keberagaman yang meliputi pertentangan antarabudaya, kecemburuan sosial dan sentimen kedaerahan serta perubahan tata nilai budaya di tengah masyarakat.

Menurut Hesti, terdapat empat hal tantangan di Era Digital saat ini. Disebabkan oleh beberapa faktor :

Pertama, Ruang dunia maya yang bebas cepat dan anonim, sehingga orang bebas menyebarkan narasi kebencian menghujat atau memaki.

Kedua, Kontestasi tokoh dan elit politik mendorong tumbuhnya keberanian masyarakat untuk saling menghujat dan menebar kebencian.

Ketiga, Suburnya intoleransi dan fanatisme kelompok menumbuhkan keberanian untuk menghujat dan memaki tokoh agama, keyakinan dan tokoh yang dianggap berseberangan.

Keempat, Rendahnya literasi digital pelaku medsos sehingga menjadi liar tanpa menyadari adanya efek hukum psikologis dan dampak sosial dari penggunaan medsos tersebut.

Guna menanggulangi dan mengantisipasi ekstremisme, Hesti menganjurkan untuk kembali kepada Pancasila sebagai identitas nasional. Pancasila dengan kesadasarn Bhineka Tunggal Ika, menjadi filter semua aliran dan paham yang tak sesuai, tak sejalan dengan kepribadian bangsa, serta UUD Negara RI tahun 1945. Sejumlah aliran yang bertentangan dengan Pancasila adalah ancaman berkembangnya paham liberal, komunisme dan radikalisme.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Agama Sosial Ekonomi adn Budaya FKPT Jatim, Moch Arifin, menyampaikan sejumlah upaya pencegahan kasus ekstremisme. Antara lain, pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dalam pelajaran melalui kebijakan kurikulum. Seperti halnya penguasaan pancasila, dengan kesadaran kebhinekaan global.

Praktik budaya sekolah terkait kerja sama dalam kegiatan keagamaan, pentas seni lintas agama dan kemah lintas iman. Selain itu, pentingnya penguatan budaya literasi budaya dan kewenangan.

Kebijakan pemerintah tentang nilai-nilai toleransi melalui pendidikan multikultural, pendidikan multibudaya, implementasi sekolah ramah anak. Perlu dilakukan antisipasi penyalahgunaan media sosial, salah pergaulan, kelabilan emosional siswa, serta latar belakang keluarga dan masyarakat.

Sementara itu, Guru juga memiliki peran strategis menjadi benteng penangkal radikalisme bagi anak didiknya di sekolah.

Salah satu cara untuk mencegah radikalisme itu meluas adalah dengan memberikan sosialisasi kepada semua elemen masyarakat tentang betapa bahayanya radikalisme, tak terkecuali guru dan siswa.

Guru bisa menjadi salah satu pintu gerbang masuknya paham tersebut, tetapi sekaligus pintu masuk pula untuk mencegahnya.

Melalui guru, para murid akan mendapatkan pencerahan apabila para guru dicerahnya terlebih dahulu.

Perlu diketahui, bahwasanya gerakan radikalisme seyogyanya tidak tumbuh di negara yang mempunyai nilai toleransi tinggi. Indonesia sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama, mempunyai beribu budaya dan kearifan sosial dan telah teruji selama bertahun-tahun.

Doktrin pemikiran radikal tentu saja sangatlah berbahaya. Dampak doktrin radikalisme tersebut mampu merusak sendi-sendi kehidupan yang dianut oleh mayoritas masyarakat.

Guru tentu saja memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter anak. Sehingga Guru juga menjadi benteng bagi masuknya paham radikalisme di kalangan pelajar.

Untuk membentengi peserta didik dari paham radikal, setidaknya diperluka tiga Ukhuwah. Yakni Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Bashariyah dan Ukhuwah Wathoniyah. Ketiga Ukhuwah tersebut sudah teruji dalam membentengi bangsa Indonesia dari perpecahan.

Jangan sampai Guru di sekolah Negeri, justru menjadi kompor untuk para siswa ketika pemilihan ketua OSIS, agar para siswa tidak memilih calon ketua dari kalangan non muslim. Hal tersebut tentu saja akan melahirkan bibit intoleran di kemudian hari.

Lembaga pendidikan memiliki peran vital dalam mengembangkan karakter siswa, kurikulum pendidikan saat ini harus menjadikan siswa tidak hanya pintar dalam hal akademis, tetapi juga mampu menghindarkan diri dari paham yang bertentangan dengan Pancasila.

 

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute