KUHP Nasional Kedepankan Restorative Justice dan Hadirkan Keadilan
Jakarta — KUHP nasional dinilai terus mengedepankan prinsip restorative justice, sehingga mampu menghadirkan adanya keadilan, keberimbangan hingga efisiensi dalam setiap peradilan pidana.
Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ahmad Sahroni berbicara mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru saja disahkan.
Utamanya, terkait dengan adanya pasal perzinahan dan kohabitasi yang terus menjadi polemik di masyarakat.
Terkait adanya pasal tersebut, dirinya terus mengimbau kepada para penegak hukum untuk terus berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya dan terus mengedepankan asas restorative justice dalam penanganan pidana.
“Saya sadar memang masih ada ketidaksempurnaan di KUHP yang baru. Sehingga saya harap pihak kepolisian juga berhati-hati dalam menetapkan pasal dan mengedepankan restorative justice,” kata Sahroni.
Lebih lanjut, pria yang juga merupakan Politikus dari Partai Nasdem tersebut menjelaskan bahwa restorative justice sendiri merupakan sebuah ciri hukum modern, yang mana memiliki banyak manfaat dalam penyelesaian kasus yang lebih maksimal.
Pasalnya, dengan menggunakan asas tersebut, maka peradilan pidana akan menjadi lebih adil, berimbang dan efisien.
“Sebab, restorative justice ini merupakan paradigma baru dalam peradilan pidana yang terbukti adil, berimbang dan efisien,” ujarnya.
Bahkan, dengan penerapan restorative justice, yang merupakan sebuah paradigma hukum modern tersebut dalam KUHP nasional, baginya mampu mengisi beberapa kekurangan yang ada.
Termasuk juga, asas itu sangat berfungsi jika diterapkan dalam pasal perzinahan dan kohabitasi.
“Jadi, semisal masih ada kekurangan-kekurangan (dalam KUHP), seperti contohnya pasal zina, nah di situ kita kedepankan restorative justice,” pungkasnya.
Sementara itu, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa selama ini, jika KUHP peninggalan kolonial Belanda terus diberlakukan di Indonesia, maka akan semakin banyak orang yang dipidana dengan tidak pasti.
Lantaran dalam KUHP lama masih banyak sekali hal-hal yang memungkinkan adanya multitafsir termasuk banyak perbedaan prinsip di dalamnya.
“Saya bisa menunjukkan pasal yang diterjemahkan berbeda. Artinya apa, dengan secara tegas saya mau mengatakan, bapak ibu bisa bayangkan, jutaan orang dipidana dengan KUHP yang tidak pasti, dan perbedaan-perbedaan prinsip itu tidak hanya dalam rumusan delik, tetapi di dalam sanksi pidana, itu perbedaannya sangat tajam,” ungkapnya.
Bahkan terjadi sebuah gradasi yang jauh, utamanya bagaimana naskah asli terbitan Wetboek van Strafrecht.
Maka menurutnya memang sudah tidak bisa lagi apabila Indonesia terus menggunakannya dan terus mengadili orang dengan kitab undang-undang yang penuh akan ketidakpastian dan multitafsir.
“Itu gradasi yang luar biasa. Cuma kadang-kadang para lawyer tak pernah membaca naskah asli Wetboek van Strafrecht, saya punya terbitan 1915. Jadi enggak ngerti, apa itu akan terus menerus mengadili orang dengan kitab undang-undang yang tidak pasti,” terangnya.