Lindungi Generasi Muda dari Radikalisme

Ilustrasi Generasi Muda Indonesia

 

Oleh : Alif Fikri )*

Paham Radikal rupanya masih menjadi ancaman nyata pada saat ini. Paham tersebut juga menyasar generasi muda yang masih labil secara emosi, sehingga generasi muda harus mendapatkan perlindungan agar tidak terpapar oleh radikalisme.

 

Penguatan narasi kebangsaan, kedamaian dan keagamaan yang benar harus terus diberikan kepada anak muda agar mereka memiliki imunitas dan kemampuan melawan paham-paham kekerasan tersebut. Karena itu keberadaan duta damai dunia maya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi solusi dalam menyebarkan pesan-pesan persatuan, perdamaian, toleransi dalam rangka mencegah anak muda terpapar radikalisme.

Pakar Terorisme Huda Ismail memiliki kepedulian terhadap upaya kontranarasi terhadap paham radikal yang menyasar generasi muda. Kerja-kerja narasi super penting seperi membuat konten yang terkait dengan anak muda merupakan hal yang harus dilakukan untuk meng-counter fenomena pemaparan paham radikal.

Noor Huda sendiri merupakan orang yang berada di balik layar pembuatan konten-konten terkait terorisme melalui buku dan film pendek. Beberapa film pendeknya adalah Jihad Selfie, Cross Fire dan Kecewa Karena Bapak Menjadi Teroris yang disaksikan para duta damai dunia maya BNPT.

Dalam film-filmnya, ia melibatkan langsung para pelaku aksi terorisme. Salah satunya Munir Kartono di film Kecewa Karena Bapak Menjadi Teroris. Munir pernah empat tahun hidup di penjara akibat terlibat pendanaan terorisme kasus Bom Mapolres Surakarta.

Noor Huda mengaku sengaja melibatkan pelaku terorisme agar film-film realitable dari pengakuan pelaku sehingga orang akan lebih percaya. Apalagi mereka pernah menjadi bagian dari kelompok teroris. Mereka telah mengetahui bahwa dirinya telah dibohongi oleh kelompok lama, sehingga mereka mempunyai emergi untuk melawan narasi-narasi lama mereka.

Dari film-film tersebut diketahui bahwa virus radikalisme dan terorisme merasuki seseorang tidak hanya dari jalur agama, tetapi bisa dari masalah sosial lain. Contohnya Munor Kartono, ia teradikalisasi berawal dari masalah keluarga yang tidak terselesaikan, sehingga mencari jalan keluar di luar rumah. Dari situlah dirinya bertemu dengan tokoh yang terafilisasi dengan ISIS yang ada di Indonesia, Bahrun Naim. Bahkan Munir dan Bahrun Naim membicarakan rencana aksi terorisme sambil bermain biliar.

Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak cara pintu untuk masuk ke menyebarkan paham radikal, tak melulu pengajian, bahkan dari aktivitas main biliar saja seseorang bisa menyebarkan paham radikal.

Sementara itu, Munir Kartono juga memaparkan pengalamannya tentang proses radikalisasi yang dialami. Menurutnya, proses itu begitu panjang berawal dari permasalahan keluarga yang berlarut-larut dan memancingnya memancingnya mencari identitas di luar rumah, bahkan di jalanan, sampai akhirnya ia teradikalisasi.

Itu semua terjadi di luar rumah, lewat pergaulan. Kemudian dirinya juga menemukan jaringan teroris semua di luar rumah.

Saat kali pertama mencari identitas di luar rumah, Munir menuturkan bahwa dirinya bertemu dengan anak-anak punk. Namun anak-anak punk ini tidak seperti kebanyakan yang hobinya main musik dengan dandanan dekil. Mereka membuat lapak-lapak perpustakaan jalanan gratis. Bacaan-bacaan itu menarik bentuk-bentuk perlawanan terhadap idealisme feodal, bentuk-bentuk nilai-nilai kolot, termasuk tidak sesuai dengan negara Indonesia.

Hingga pada akhirnya Munir bergabung dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan bertemu dengan Bahrun Naim yang kebetulan seusia, seprofesi dan memiliki kesamaan hoby yakni mengelola warnet. Dirinya mengaku akan datang ke Solo, main biliar bersamanya sampai akhirnya mencari uang untuk kelompok-kelompok teroris.

Munir mencari pendanaan teror dengan cara membobol Paypal. Dari situlah dana dialirkan ke crypto currency berupa Bitcoin. Pada 2012 kebetulan grafik Bitcoin sedang meningkat tajam.

Dari dana yang dibelikan Bitcoin, saat dijual selisih nilainya sangat tinggi. Dana itulah yang kemudian dialirkan ke Bahrun Naim, yang kemudian disebarkan ke mana-mana seperti pemberangkatan orang-orang ke Suriah, melakukan aksi bom di Indonesia, termasuk pembiayaan kepada keluarga yang melakukan teror bom.

Saat ini, Munir telah mengakui bahwa dirinya sudah sembuh total setelah menjalani hukuman selama empat tahun di Lapas Purwakarta dan Lapas Khusus Sentul. Ia menceritakan prosesnya saat ia berikrar setia kembali ke NKRI di Lapas Purwakarta. Setelah itu, ia mengajukan diri untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut di Pusat Deradikalisasi (Pusderad) BNPT di Sentul.

Dirinya juga menilai bahwa potensi kerentanan radikalisasi terbesar ada pada anak muda mulai dari generasi milenial sampai generasi Z. Apalagi permasalahannya tidak melulu ideologi, tapi bisa dari masalah kecil yang tidak terselesaikan.

Sehingga generasi muda harus mendapatkan perlindungan agar mereka tidak menjadi agen paham radikal. Duta Damai yang diisi oleh generasi muda harus mampu membuat terobosan dalam menyebarkan konten perdamaian dan persatuan.

 

 

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute