Akademisi: KUHP Nasional Menjunjung Keadilan, Keberagaman dan Nilai-Nilai Pancasila

Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 

Medan — Para akademisi berpendapat bahwa KUHP Nasional yang telah disahkan jauh lebih menjunjung tinggi aspek keadilan, keberagaman di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen hingga sangat mewadahi nilai-nilai dasar Pancasila.

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupki) menggelar acara sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional di Medan, Sumatera Utara. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Senin (9/1)/

Dalam sambutannya, Ketua Mahupki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi menyatakan bahwa seluruh masyarakat Indonesia patut berbangga dengan kelahiran KUHP Nasional karena di dalamnya memuat keseimbangan antara kewajiban dan HAM.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, ucapnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmul Siregar mengucapkan bahwa sudah sangat lama masyarakat telah menantikan adanya pembaruan KUHP produk Belanda dengan sistem hukum asli buatan anak bangsa.

Lebih lanjut, menurutnya dengan adanya KUHP Nasional ini, di dalamnya banyak perbedaan dan jauh lebih memacu adanya semangat persatuan dan menjunjung keberagaman.

“Wacana KUHP nasional sudah ada sejak tahun 1992, semasa saya kuliah. Tentu akan banyak perbedaan dengan KUHP yang sebelumnya, tetapi yang pasti hal itu akan mendasari lahirnya semangat persatuan dan lebih maju serta tetap menjunjung tinggi keberagaman,” katanya.

Dalam acara Sosialisasi KUHP Nasional, tersebut, juga turut hadir Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, Dr. Surastini Fitriasih hingga Prof. Dr, Pujiyono, yang mana dirinya menyatakan bahwa KUHP Nasional sudah sangat beraliran hukum modern karena ada orientasi pula pada korban dan juga terdapat banyak alternatif sanksi.

KUHP Nasional juga menurut Prof. Pujiyono telah mewadahi nilai-nilai dasar negara, Pancasila dan juga telah menyerap pastisipasi publik secara luas untuk bisa menjamin adanya kepastian dan pembaruan hukum di Indonesia.

“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat. Pembuatan KUHP yang bisa dikatakan cukup lama ini sudah berupaya menyerap seluruh aspirasi dari banyak kalangan, mengambil pendekatan kemanusiaan atau orientasi pidana pada pelaku-korban-masyarakat, sehingga membuka sebuah ruang atau hal baru demi menjamin kepastian hukum dan pembaruan hukum”, imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa terdapat pembaruan yang mendasar dalam KUHP Nasional untuk menggantikan WvS buatan Belanda, yakni di dalamnya sama sekali tidak langsung memerangi pelaku tindak kejahatan, namun justru berorientasi melakukan perbaikan pada pelaku.

“Tetapi dengan pidana itu tidak memerangi orang yang berbuat jahat, namun memerangi kejahatannya. Sehingga orientasinya adalah perbaikan si pelaku, mengubah tingkah laku dari orang jahat ini,” tuturnya.

Bukan hanya itu, namun dalam KUHP Nasional juga diatur adanya pembatasan kesewenang-wenangan dari penguasa ataupun masyarakat untuk main hakim sendiri.

“Dalam konteks perlindungan ini, pidana mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat main hakim sendiri. Salah satu contohnya adalah mengenai kohabitasi, ada masyarakat yang meyakini kohabitasi dilarang, namun ada kelompok masyarakat tertentu yang masih melakukan. Kemudian ada juga di kelompok masyarakat lain yang melakukan main hakim sendiri dengan penggerebekan. Ketika itu ditentukan sebagai delik aduan, dibatasi siapa yang berhak mengajukan aduan, itu menjadi jalan tengah,” imbuh Prof Marcus.

Sehingga, sebelumnya hukum pidana yang hanya bersifat retributif saja diperbaiki dan dirubah paradigmanya dalam KUHP Nasional menjadi bersifat korektif, restoratif dan rehabilitatif.

“Namun adanya perubahan paradigma pidana dengan korektif (perbaikan kesalahan), restoratif (mengembalikan hubungan korban dan pelaku hingga masyarakat yang terdampak, ada juga paradigma rehabilitatif,” jelasnya.

Berbicara soal Pasal Kohabitasi, Dr. Surastini Fitriasih yang juga menjadi narasumber dalam sosialisasi tersebut menjelaskan bahwa pasal tersebut juga sangat melindungi hal perempuan dan juga menjadi jalan tengah akan adanya heterogenitas di masyarakat Tanah Air.

“Dalam Pasal kohabitasi sebenarnya jelas sekali terdapat perlindungan hak perempuan ataupun anak yang kemungkinan lahir dari perbuatan kohabitasi tadi, Pasal ini menjadi jalan tengah dari perdebatan yang ada di masyarakat yang sangat heterogen. Selain itu, ada syarat bisa diproses apabila ada pengaduan,” terangnya.

Kegiatan sosialisasi KUHP di Medan dihadiri oleh ratusan peserta. Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat dan tokoh penting di Sumatera Utara.

***