Bahas Pentingnya KUHP Baru, Mahupiki Undang Pakar Hukum Lintas Universitas

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

 

Medan – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan dianggap memiliki sejumlah keunggulan. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa, Sumatera Utara.

Dalam sambutannya, Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi menyampaikan KUHP baru ini merupakan produk hukum anak bangsa. Pihaknya menjelaskan bahwa aturan hukum yang baru disahkan oleh DPR itu menggunakan prinsip keseimbangan.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, ucap Dr. Rizkan.

Terkait adanya penolakan beberapa pihak terhadap KUHP, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan hal yang lumrah.

“Meskipun baru disahkan tetapi sudah dianggap pro dan kontra bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu”, ucapnya.

Pengesahan KUHP nasional, tambah Prof. Marcus, memiliki sejumlah keunggulan apabila dibandingkan dengan KUHP lama. Menurutnya, KUHP baru telah mengakomodir perubahan paradigma.

“Perubahan yang paling mendasar sebetulnya terletak di Buku I, karena ada perubahan paradigma tentang pidana. Ternyata pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, sehingga semua akan merubah konteks peradilan pidana” Ujar Prof. Marcus pada kegiatan Sosialisasi KUHP, Senin (9/1/2023).

Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Pujiyono SH M Hum, yang juga hadir sebagai narasumber. Menurutnya, beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.

Selain itu, Prof. Pujiyono menjelaskan bahwa pembuatan KUHP yang bisa dikatakan cukup lama ini sudah berupaya menyerap seluruh aspirasi dari banyak kalangan, mengambil pendekatan kemanusiaan atau orientasi pidana pada pelaku-korban-masyarakat. Dengan adanya proses tersebut, maka diharapkan akan membuka sebuah ruang atau hal baru demi menjamin kepastian hukum dan pembaruan hukum

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr Surastini SH MH meluruskan berbagai isu keliru tentang KUHP baru salah satunya adalah seputar pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

“Kemudian tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden sebenarnya bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk kritik hingga unjuk rasa dari masyarakat, yang mana itu semua tidak bisa dipidana.” tambah Dr. Surastini.

Dirinya menambahkan bahwa kritik merupakan sebuah bentuk pengawasan publik terkait kepentingan masyarakat, yang sangat berbeda dari penghinaan seperti memfitnah, menista secara pribadi. Selain itu, berbeda dari KUHP lama, pasal tersebut saat ini berjenis delik aduan.

Kegiatan diskusi KUHP ini diikuti oleh ratusan orang peserta dan diharapkan menjadi media sosialisasi KUHP baru kepada elemen-elemen publik. Selain itu, dengan adanya sosialisasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.

Sementara itu, kegiatan sosialisasi dihadiri oleh sejumah tokoh di Sumatera Utara antara lain Kapolda Sumut, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak, Kepala BIN Daerah Sumut, Brigjen TNI Asep Jauhari, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Idianto, SH, MH, birokrat dari Pemerintah Provinsi Sumut dan Pemerintah Kota Medan, praktisi hukum, akademisi, mahasiswa sampai masyarakat umum.

****