Miliki Banyak Alternatif Sanksi, KUHP Nasional Dinilai Sangat Diperlukan Bangsa Indonesia
MEDAN – KUHP nasional dinilai memiliki banyak sekali alternatif sanksi dan tidak melulu melalui pemenjaraan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dinilai sangatlah diperlukan bangsa Indonesia.
KUHP baru ini merupakan produk hukum anak bangsa yang memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya.
Hal tersebut dikatakan Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi, dalam acara sosialisasi KUHP yang dilaksanakan di Hotel Grand Mecure Medan Angkasa, Medan (9/01/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Universitas Diponegoro sebagai salah satu narasumber, Prof. Dr. Pujiono, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa KUHP merupakan refleksi dari peradaban dan sistem nilai suatu bangsa. Indonesia memang butuh suatu UU KUHP yang mencerminkan jiwa dan roh serta mencerminkan peradaban bangsa.
“Ide dasar KUHP kolonial Belanda menitikberatkan kepada kepentingan dan kebebasan individu, lebih bersifat sekuler dan dipengaruhi konsep Separation State and Church.”, ungkap Prof Pujiono.
Sedangkan sumber dasar KUHP baru, lanjutnya, dibangun secara sadar berdasarkan nilai-nilai Pancasila, ide keseimbangan monodualistik, pengalaman historis, kondisi empirik, perkembangan masyarakat baik global dan nasional, perkembangan ilmu serta bahan-bahan komparasi.
Terkait kebijakan formulasi KUHP baru, Prof Pujiono memaparkan, tujuan dan pedoman pemidanaan antara lain adalah asas keslaahan, batas usia pertanggungjawaban pidana anak, bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak dan lewenangan hakim untuk bisa menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana anak, pidana mati serta kemungkinan terpidana seumur hidupmemperoleh pelepasan bersyarat.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., menjelaskan tentang keunggulan KUHP baru jika dibandingkan dengan KUHP WvS atau versi Belanda yang usianya sudah 300 tahun.
Menurut Prof Marcus, terdapat 17 keunggulan, namun perubahan yang paling mendasar terletak di buku satu, karena adanya perubahan paradigma tentang pidana, dimana pidana adalah alat untuk mencapai tujuan.
“Di dalam pidana punya tujuan, pertama untuk melakukan perlindungan terhadap individu atau pembinan individu atau social welfare policy. Pidana juga punya tujuan untuk memberikan perlindungan masyarakat atau social defence policy, serta perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi dan reaksi,“ kata Prof Marcus.
Dengan kata lain, KUHP juga mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat maupun penyalahgunaan wewenang penegak hukum.
Dalam KUHP keadilan restoratif, keadilan korektif dan paradigma rehabilitatif yang semuanya akan membawa kepada persoalan jenis-jenis pidananya.
“Pidana dalam KUHP lama sebagian besar menekankan pada jenis pidana bersifat perampasan kemerdekaan. Namun dalam konteks KUHP nasional diberi kemungkinan apabila hakim menjatuhkan pidana kurang dari 5 atau 3 tahun bisa memilih untuk dijatuhi dengan hukum pidana denda, kerja sosial dan pidana pengawasan.” jelas Prof Marcus.
Narasumber selanjutnya, Akademisi Universitas Indonesia (UI), Dr. Surastini Fitriasih menungkap berbagai isu krusial, termasuk yang semula tercantum dalam RKUHP, telah didrop dalam KUHP baru.
“Terdapat 14 isu krusial, dimana 4 isu sudah didrop, yakni terkait praktek dokter gigi tanpa izin, unggas merusak kebun dan tanah, tindak pidana advokat curang serta tindak pidana penggelandangan karena dinilai untuk bisa diatur di dalam perda.” Jelas Dr. Surastini.
Terkait ketentuan tentang hukum adat atau living law sebagai salah satu dasar untuk menghukum, menurutnya, yang masih menjadi pertanyaan adalah berlakunya hukum tersebut dimana.
“Berlakunya di mana hukum itu hidup, hukum setempat, sepanjang tidak diatur di dalam KUHP. Namun ada Batasan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.” Ujar Dosen Hukum Fakultas Hukum UI ini.