Pakar Hukum Pidana UGM: KUHP Nasional Bertitik Tolak Dari Asas Keseimbangan

Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum

Medan – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan efektif berlaku pada 2025 atau tiga tahun setelah disahkan. Komitmen Pemerintah untuk memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai KUHP terus digencarkan.

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menggelar sosialisasi KUHP baru di Medan, Sumatera Utara, pada Senin (9/1/2023). Acara yang diselenggarakan di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa ini merupakan hasil kerjasama Mahupiki dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam sambutannya, Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi menyampaikan KUHP nasional merupakan produk hukum anak bangsa.

“Kita harus bangga KUHP ini adalah produk atau hasil anak bangsa dan salah satu yang membedakan KUHP yang baru adalah memuat keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana kita menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya”, jelas Dr. Rizkan.

Hadir sebagai narasumber dalam acara sosialisasi dan edukasi KUHP ini, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Pujiyono S.H., M.Hum., Pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., dan Akademisi Universitas Indonesia (UI), Dr. Surastini Fitriasih S.H., M.H.

Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, menilai bahwa reaksi yang muncul dalam pengesahan KUHP baru ini merupakan sesuatu yang terbilang wajar dan biasa.

“Meskipun baru disahkan tetapi sudah muncul pro dan kontra, bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu”, tutur Prof. Marcus.

Menurutnya, selama tiga tahun sosialisasi sebelum KUHP yang baru diterapkan, reaksi itu akan terus ada sampai nantinya diterapkan akan ada pula reaksi masyarakat. Bahkan, ia mengingatkan, KUHP lama sampai hari ini masih menimbulkan reaksi.

Dalam kesempatan tersebut, Pakar Hukum Pidana UGM tersebut menerangkan bahwa ada banyak keungguhan KUHP Nasional jika dibandingkan dengan KUHP lama buatan Belanda.

“Perubahan yang paling mendasar sebetulnya terletak di Buku I, karena ada perubahan paradigma tentang pidana. Ternyata pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, sehingga semua akan merubah konteks peradilan pidana”, jelas Prof. Marcus.

Selain itu, lanjut Prof. Marcus, KUHP nasional bertitik tolak dari asas keseimbangan.

“Dalam konteks perlindungan, pidana mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat main hakim sendiri. Salah satu contohnya adalah mengenai kohabitasi, ada masyarakat yang meyakini kohabitasi dilarang, namun ada kelompok masyarakat tertentu yang masih melakukan. Kemudian ada juga di kelompok masyarakat lain yang melakukan main hakim sendiri dengan penggerebekan. Ketika itu ditentukan sebagai delik aduan, dibatasi siapa yang berhak mengajukan aduan, itu menjadi jalan tengah”, ujar Prof. Marcus.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum juga menuturkan, satu hal yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa di dalam hukum intinya ada norma dan value. Norma terbentuk karena ada ide dasar value yang mendasari.

“Beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum ada pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial”, ungkapnya.

Menurutnya, dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila.

“Menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat. Pembuatan KUHP yang bisa dikatakan cukup lama ini sudah berupaya menyerap seluruh aspirasi dari banyak kalangan, mengambil pendekatan kemanusiaan atau orientasi pidana pada pelaku-korban-masyarakat, sehingga membuka sebuah ruang atau hal baru demi menjamin kepastian hukum dan pembaruan hukum”, imbuh Prof. Pujiyono.

Sementara itu, Akademisi Universitas Indonesia, Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. menganggap jika KUHP merupakan beleid yang tidak hanya memberikan ketegasan, namun juga keadilan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah adanya alternatif sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana.

“Keunggulan dari KUHP itu adanya alternatif-alternatif sanksi. Pidana penjara bisa diganti pidana denda, pidana denda bisa diganti dengan pengawasan atau kerja sosial”, tutur Dr. Surastini.

Sosialisasi KUHP ini dihadiri banyak kalangan, mulai dari pejabat daerah, yakni Kapolda Sumut, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak, Kepala BIN Daerah Sumut, Brigjen TNI Asep Jauhari, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Idianto, SH, MH, birokrat dari Pemerintah Provinsi Sumut dan Pemerintah Kota Medan, praktisi hukum, akademisi, mahasiswa sampai masyarakat umum. Acara ini diharapkan dapat menjadi sarana literasi dan sosialisasi terkait implementasi KUHP kepada berbagai elemen masyarakat.