Gencarkan Pemahaman Terkait KUHP Nasional, Mahupiki Kembali Gelar Sosialisasi di Pontianak

Sosialisasi KUHP

 

Oleh : Ananda Rasti )*

 

Pasca pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada 6 Desember 2022 lalu, pemerintah bersama berbagai stakeholder terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Undang-undang tersebut bakal berlaku efektif dalam tiga tahun. Sosialisasi norma serta pasal-pasal yang ada dalam UU KUHP ini merupakan tanggung jawab dari semua pihak.

Untuk itu, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) kembali menggelar acara sosialisasi KUHP Nasional bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura. Acara sosialisasi KUHP Nasional kali ini dilaksanakan  di Hotel Mercure Pontianak, Kalimantan Barat pada Rabu (18/01/2023). Sosialisasi KUHP ini menghadirkan para ahli hukum, diantaranya Guru Besar Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. R Benny Riyanto, SH, M.Hum., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., MH., Ph.D., dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum.

Dalam kegiatan tersebut, Prof. Dr. R. Benny Riyanto mengatakan bahwa pengesahan KUHP Nasional telah mengikuti pergeseran paradigma hukum dan keadilan modern. Pasalnya, pada penerapan KUHP lama peninggalan jaman kolonial Belanda, paradigma keadilan masih bersifat retributif.

Selain itu, dengan lahirnya KUHP Nasional maka menjadi sebuah warisan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena mampu menciptakan sebuah reformasi sistem hukum pidana nasional.

Lebih lanjut, Prof. Benny Riyanto mengungkapkan bahwa urgensitas mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional adalah pertama karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan, yang dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku. Selain itu juga merupakan perwujudan reformasi sistem hukum secara menyeluruh yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan HAM secara universal.

Guru Besar Universitas Negeri Semarang tersebut juga menjelaskan bahwa KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, namun sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Selain itu, belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila.

Menurutnya, Pemerintah telah mengakomodasi seluruh masukan dari para stakeholder, mulai dari kementerian dan lembaga terkait hingga partisipasi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk juga para akademisi. Bukan hanya itu, pemerintah juga melakukan public hearing yang telah dilaksanakan sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni meaningful participation. Adanya hak untuk didengarkan, hak untuk mendapat penjelasan dan hak untuk dipertimbangkan.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., MH., Ph.D, dalam sosialisasi KUHP tersebut menyatakan bahwa pasca pengesahan KUHP nasional maka tidak ada lagi yang namanya kejahatan namun semuanya menjadi tindak pidana. Dengan demikian semua peraturan di luar KUHP Nasional harus menyesuaikan.

Tidak hanya itu, KUHP baru juga menganut prinsip bahwa tidak boleh orang dihukum tanpa adanya kesalahan. KUHP baru juga menegaskan bahwa pada asasnya, hanya orang yang sengaja saja yang bisa dihukum. Oleh karena itu penting untuk diperiksa apakah orang itu melakukan sengaja atau tidak meskipun kata itu sudah tidak dicantumkan lagi.

KUHP baru juga menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan namun bisa dihukum, akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, yang penting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam UU.

Prof. Topo juga menjelaskan bahwa tujuan pidana sekarang bukan retributif atau untuk membalas dendam, namun justru untuk perlindungan, sehingga banyak pembaruan-pembaruan akan hal itu. Tindak pidana benar-benar dikurangi, yakni hanya untuk tindak pidana khusus dan berat saja atau serius, karena pada umumnya dipenjara atau denda.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Pujiyono, juga menuturkan, satu hal yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa di dalam hukum intinya ada norma dan value. Norma terbentuk karena ada ide dasar value yang mendasari. Urgensi dari penyusunan KUHP Nasional yaitu agar sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada NKRI.

Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro itu juga menilai tentang pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan penghinaan lembaga negara. Menurutnya, semua pihak harus mampu membedakan apa itu pembedaan dan apa itu kritik. Karena jika berbicara mengenai penghinaan, itu jelas perbuatan tercela karena di dalamnya mengandung pemfitnahan dan penistaan. Dan hal itu sangat berbeda dengan kritik, negara sama sekali tidak mempersoalkan tentang kritik. Sangat tidak elok karena KUHP melindungi pemimpin negara asing ketika berkunjung ke sini, namun kenapa untuk pemimpin yang dipilih oleh rakyat sendiri tidak dilindungi.

Sosialisasi KUHP baru merupakan langkah yang patut untuk diapresiasi. Dengan adanya kegiatan tersebut, masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa KUHP nasional merupakan aturan hukum yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini dan mampu  memberikan keadilan bagi semua pihak.

 

*Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik