KUHP Nasional Representasi Karakter Bangsa Indonesia
Oleh : Janu Farid Kesar )*
Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional harus diapresiasi dan menjadi salah satu capaian positif karena sistem hukum tersebut memuat banyak nilai-nilai yang sangat sesuai dengan karakter khas bangsa Indonesia. Selain itu, KUHP Nasional juga mampu menjamin adanya asas keadilan hukum untuk semua lapisan masyarakat.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah RI secara resmi telah menyepakati bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU). Bahkan, seluruh Fraksi yang terdapat di dalam Komisi III DPR RI dan Pemerintah juga telah menyampaikan pendapat mereka bahwa mereka semuanya telah menyetujui agar UU KUHP bisa disahkan.
Persetujuan yang datang dari semua Fraksi di Komisi III DPR RI tersebut sama sekali tidak terlepas dari telah adanya penyempurnaan dalam RUU KUHP yang dilakukan secara holistik lantaran telah mengakomodasi seluruh masukan dari semua elemen masyarakat di Indonesia agar tidak terjadi kriminalisasi yang secara berlebihan dan juga tindakan yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum dengan terus memperbaiki rumusan norma pasal serta penjelasannya.
Sejauh ini, Pemerintah RI bersama dengan DPR RI memang telah banyak sekali melakukan dialog publik dan juga sosialisasi naskah UU KUHP dengan menghadirkan banyak elemen masyarakat, utamanya adalah para akademisi dan pakar hukum serta masyarakat hukum pidana bahkan dari berbagai macam lembaga dan universitas di seluruh Indonesia, sehingga memang telah meningkatkan partisipasi publik secara signifikan.
Lantaran masih terdapat masa transisi selama 3 tahun setelah pengesahan yang dilakukan pada 6 Desember 2022 tersebut, berarti setidaknya pada tahun 2025 mendatang, KUHP Nasional akan benar-benar berlaku menjadi sistem hukum di Tanah Air, maka Komisi III DPR RI terus melakukan pengawalan dan evaluasi akan persiapan dan pelaksanaan UU KUHP tersebut, utamanya terkait dengan peraturan pelaksana dan seluruh instrumen atau infrastruktur pendukungnya supaya benar-benar terus sesuai dengan bagaimana tujuan untuk bisa mencapai adanya kepastian hukum, keadilan dan juga mendatangkan kebermanfaatan bagi masyarakat luas.
Dalam acara sosialisasi KUHP Nasional di Pontianak, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Pujiyono menjelaskan bahwa pengesahan yang dilakukan oleh DPR RI itu juga merupakan sebuah hasil penindaklanjutan dari adanya Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan bahwa memang sangat perlu supaya ada sebuah harmonisasi, sinkronisasi, konsistensi pembangunan dan pembaharuan sebuah hukum nasional supaya bisa sesuai dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio-filosofi dan sosio-kultural pada suatu negara.
Lebih lanjut, dirinya juga menjelaskan bahwa jika bicara terkait dengan Buku II, tentunya tidak bisa dilepaskan dari Buku I. Ketika publik mengkritisi Buku II, seharusnya paham terlebih dahulu mengenai Buku I. Karena dalam hukum pidana itu ada dua inti, yakni norma dan value. Sehingga dalam Buku II adalah norma, namun konsep dan ide dasarnya ada dalam Buku I.
Lebih lanjut, terkait dengan living law, ini bukan hal baru. Hukum positif Indonesia mengenal adanya living law, sehingga tidak perlu diperdebatkan. Ketika orang yang menyatakan bahwa living law seolah tidak memberikan kepastian hukum, padahal kepastian hukum tidak hanya sekedar sesuai dengan UU. Karena dalam masyarakat ada suatu norma-norma yang tidak tertulis, maka dari itu living law harus dihidupkan kembali dalam ketentuan hukum pidana.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso menerangkan bahwa pada Bab I di Buku I KUHP Nasional sudah mengakomodasi banyak perubahan di jaman modern, yang mana belum tercakup dalam KUHP lama, begitu juga asas-asas yang lain juga mengakomodir banyak perkembangan jaman modern.
Terdapat 3 bagian paling penting, yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, pidana dan pemidanaan. Seluruhnya akan mempengaruhi banyak hal lain dalam KUHP Nasional. Dalam KUHP lama belum dijelaskan dan diatur secara sistematis mengenai tindak pidana. Namun dalam KUHP Nasional dijelaskan bahwa tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang sifatnya melawan hukum dan oleh living law juga dilarang.
KUHP baru juga dinilai telah menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan namun bisa dihukum, akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, yang penting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam UU.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. R Benny Riyanto menuturkan bahwa KUHP Nasional ini lahir melalui proses public hearing yang menampung seluruh aspirasi dari semua elemen masyarakat. Urgensitas perlunya KUHP Nasional dilahirkan karena terjadi perubahan paradigma keadilan retributif, yang konsepnya ada pada KUHP lama. Pergeseraan itu terkait tiga hal, yakni keadilan korektif pada pelaku supaya tidak mengulanginya, keadilan restoratif untuk korban supaya segera mengentaskan dirinya pada trauma, dan keadilan rehabilitatif untuk keduanya baik korban maupun pelaku kejahatan.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara