Mahupiki Sukses Gencarkan Sosialisasi KUHP Nasional di Pontianak

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

 

Oleh : Alexander Yosua Galen )*

 

Masyarakat Hukum dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) sangat sukses untuk menggencarkan berbagai macam acara sosialisasi mengenai KUHP Nasional di berbagai daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Pontianak.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah secara resmi disahkan dan kini menjadi Undang-Undang KUHP Nasional. Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Selasa tanggal 6 Desember 2022 lalu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengesahan KUHP Nasional tersebut menjadi momen sangat bersejarah di Indonesia, utamanya dalam penyelenggaraan hukum pidana. Pasalnya, setelah bertahun-tahun lamanya bangsa ini terus menggunakan KUHP lama yang merupakan produk dari masa kolonial Belanda dulu, kini saatnya Tanah Air telah memiliki sistem hukum yang cibuat oleh anak bangsanya sendiri.

Seluruh masyarakat Indonesia juga patut berbangga hati dengan pengesahan sistem hukum ini, lantaran menggantikan masa berlakunya KUHP lama peninggalan Belanda yang bahkan sejak tahun 1918 silam telah digunakan, dan jika dihitung masa berlakunya sudah lebih dari 100 tahun lamanya.

Pengesahan KUHP Nasional memang telah secara resmi dilakukan, namun pemberlakuan sistem hukum anak bangsa itu akan benar-benar berlaku secara menyeluruh pada tahun 2025, yang mana masih terdapat masa transisi selama 3 tahun setelah disahkannya pada akhir 2022.

Maka dari itu, untuk mengisi adanya masa transisi sebelum KUHP Nasional benar-benar resmi diberlakukan, sangat penting untuk seluruh masyarakat di Indonesia bisa benar-benar memahami secara utuh dan menyeluruh bagaimana isi serta seperti apa substansi dari sistem hukum terbaru ini.

Terkait upaya tersebut, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) terus menggelar berbagai macam bentuk kegiatan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional hingga di berbagai daerah di Indonesia. Dalam setiap acara sosialisasi yang digelar oleh Mahupiki, selalu menghadirkan beberapa narasumber berkompeten yang merupakan para pakar hukum sekaligus guru besar dari berbagai universitas di Tanah Air.

Saat menggelar sosialisasi di Pontianak, Sekjen Mahupiki, Dr. Ahmad Sofian, SH., MH menyatakan bahwa KUHP disusun oleh lintas generasi bersama pemerintah dan DPR. Karena Indonesia sebelumnya sudah lama dijajah dengan hukum pidana kolonial, maka publik harus bangga akhirnya memiliki KUHP sendiri. Mahupiki sendiri lahir untuk mengembangkan hukum pidana dan kriminologi di Indonesia.

Di saat yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., MH., Ph.D., mengemukakan bahwa KUHP baru menganut prinsip adanya asas bahwa tidak boleh ada orang yang dihukum tanpa adanya kesalahan. KUHP baru juga menegaskan bahwa pada asasnya, hanya orang yang sengaja saja yang bisa dihukum. Oleh karena itu penting untuk diperiksa apakah orang itu melakukan sengaja atau tidak meskipun kata itu sudah tidak dicantumkan lagi.

Tidak hanya itu, KUHP baru juga menyesuaikan perkembangan yang terjadi pada perubahan hukum di dunia, sehingga ada tindak pidana yang pelakunya tidak memiliki kesalahan namun bisa dihukum. Akan tetapi sebagai pengecualian tertentu dan harus ditulis dengan jelas, dimana yang terpenting semua unsurnya telah terpenuhi dan harus sangat eksplisit disebutkan dalam UU. Perlu diketahui bahwa pada KUHP baru, pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, tetapi menjadi pidana yang bersifat pokok. Sehingga ini menjadi sebuah jalan tengah bagi mereka yang setuju dan mereka yang menolak. Karena dalam negara-negara di dunia saja hanya ada 50 negara yang masih menjalankan hukuman pidana mati. Namun di Indonesia masih banyak yang mendukung pidana mati. Maka, ada jalan tengah bahwa pidana mati tetap ada namun diatur yakni dengan persyaratan percobaan selama 10 tahun terlebih dahulu, kemudian akan diatur lagi bahwa pidana itu bisa jadi dirubah menjadi pidana seumur hidup.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Pujiyono menjelaskan bahwa dalam kasus yang ditemui, banyak main hakim sendiri karena hukum tidak memberikan jalan keluar bagi perempuan jika terkait dengan adanya perbuatan zina. Maka dalam hal seperti itu muncul, adanya sumber penetapan suatu tindak pidana, bukan hanya yang formal, namun juga material, sehingga ada asas legalitas formil dan materiil. Karena konsep KUHP Nasional baru kita bertumpu pada asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan formal dan materiil.

Bukan tanpa alasan, ketika orang yang menyatakan bahwa living law seolah tidak memberikan kepastian hukum, padahal kepastian hukum tidak hanya sekedar sesuai dengan UU. Karena dalam masyarakat ada suatu norma-norma yang tidak tertulis, maka dari itu living law harus dihidupkan kembali dalam ketentuan hukum pidana dengan syarat-syarat pemberlakuannya yakni terbatas di mana hukum adat tersebut berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan HAM universal.

Kemudian, Prof. Dr. Pujiyono juga menyampaikan terkait demo, banyak yang mengklaim bahwa demo itu dipidana. Padahal demo bisa dipidana ketika tidak ada izin dan merusak. Karena sejatinya demo sendiri merupakan hak untuk melakukan kontrol kepada negara, sehingga tetap harus memperhatikan ketertiban masyarakat sehingga jangan sampai ada kerusuhan. Apa yang diatur dalam KUHP baru ini sudah sangat demokratis dan tidak ada niatan untuk membungkam kebebasan berpendapat.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. R Benny Riyanto mengemukakan bahwa KUHP Nasional yang baru lahir ini telah melalui proses public hearing sehingga menampung seluruh aspirasi dari semua elemen masyarakat, sehingga masyarakat Indonesia harus menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan bersama. Prof Benny bahkan mengungkapkan bahwa perjalanan KUHP Nasional membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan ada beberapa perubahan yang cukup mendasar dari sistematika KUHP Nasional dengan WvS, sehingga telah dilakukan simplifikasi.

Dengan segenap poin penting dari bagaimana urgensitas dan juga adanya pembaruan dalam KUHP Nasional untuk menggantikan posisi pemberlakuan sistem hukum sejak masa kolonial Belanda tersebut, tentunya masyarakat luas juga patut untuk terus memahaminya secara komprehensif sehingga tidak lagi terjadi perdebatan dan pro-kontra apabila semua masyarakat sudah memahami substansi KUHP Nasional ini. Sosialisasi telah sangat sukses diselenggarakan oleh Mahupiki dalam rangka tersebut bahkan hingga ke berbagai daerah di Indonesia.

 

)* Penulis adalah kontributor Suara Khatulistiwa