Gandeng Guru Besar, Sosialisasi MAHUPIKI di Ternate: Wujudkan KUHP Nasional Berdasarkan Pancasila

Ternate – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini masih berlaku di Indonesia merupakan KUHP lama atau WvS dari Belanda, yang sejatinya mengadopsi KUHP dari Perancis, karena Belanda pernah dijajah oleh Perancis pada 1806. Kemudian diadopsi oleh Belanda dan disebarkan di berbagai negara jajahan. Keinginan untuk merubah KUHP sudah dilakukan sejak 1958 sejak adanya LPHN. Selama 7 Presiden dan 7 Pemerintahan adalah masa perjuangan untuk membuat KUHP nasional milik bangsa Indonesia sendiri.

Hal tersebut dijelaskannya Plt Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Dhahana Putra, Bc. IP, dalam sebuah acara sosialisasi KUHP baru yang diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) di Ternate, Maluku Utara, Senin (30/1/2023).

Menurutnya, terdapat lima misi dari KUHP baru yaitu pertama rekodifikasi terbuka dan juga masih mengakui terkait undang undang yang lain yang diatur terkait ketentuan pidana. Kedua adalah harmonisasi

“Ini pun juga cukup menarik pada saat Indonesia memiliki komitmen terkait hak asasi manusia,” ungkap Dhahana Putra.

Ketiga adalah modernisasi, keempat aktualisasi ini pun juga sesuai dengan kekinian, khususnya terkait Living law. Selanjutnya demokratisasi sebagai hal yang sangat penting untuk keseimbangan antara moralitas individual, sosial.

Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Pidana Universtas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto menyampaikan bahwa dalam KUHP Nasional mengalami perubahan.

“Kalau kita lihat dari sisi kebaruan, banyak catatan yang bisa disampaikan yang kemudian membedakan antara KUHP nasional kita ini dengan WvS” ujar Prof. Marcus

Yang pertama, lanjutnya, soal pengakuan Hukum adat, dimana delik adat atau hukum pidana adat itu sebetulnya merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia. Meskipun hukum adat berbeda beda, tetapi kita tetap satu. Maka perbedaan dari daerah satu dengan daerah yang lain itu itu harus diakui, maka pilihan kita adalah kalau begitu delik adat harus masuk dalam sistem hukum pidana nasional.

“Delik adat kita integrasikan di dalam sistem hukum nasional. Tapi kemudian itu harus. Dituangkan di dalam.Peraturan daerah. Kenapa peraturan daerah? Karena yang namanya delik adat itu hanya berlaku bagi daerah tertentu,” tutur Prof Marcus.

Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr. Surastini Fitriasih., S.H., M.H. memaparkan beberapa keunggulan KUHP nasional. Yang pertama adalah KUHP Baru ini bertitik tolak dari asas keseimbangan. Kemudian yang kedua ini merupakan rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait dengan pidana dan pemidanaan. Selanjutnya pertanggungjawaban pidana korporasi, kemudian yang berikutnya mengatur tanggung jawab mutlak dari strict liability dan vicarious ability atau pertanggungjawaban pidana pengganti.

“ Kita lihat ya azas azas keseimbangan ini sebetulnya tercermin dalam 3 permasalahan pokok hukum pidana yaitu tentang tindak pidananya, kemudian kesalahan dan pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya,” kata Dr. Surastini. []

****