MAHUPIKI dan Guru Besar UGM Paparkan Keunggulan KUHP Baru di Ternate
Ternate – Dalam acara sosialisasi yang diselenggarakan oleh MAHUPIKI, Akademisi menegaskan bahwa KUHP baru merupakan upaya untuk melakukan pembaruan sistem hukum pidana Indonesia berdasarkan Pancalisa.
Adapun narasumber yang hadir dalam acara sosialisasi yang berlokasi di Ternate, Maluku Utara, pada Senin (30/1/2023) adalah Pakar Hukum Pidana Universtas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Surastini Fitriasih, serta Plt Dirjen Peraturan Perundang – Undangan Kemenkumham Dr. Dhahana Putra.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto dalam sosialisasinya mengatakan dari sisi kebaruan banyak catatan yang bisa disampaikan mulai dari membedakan antara KUHP Nasional dengan WvS. Kemudian, pengakuan hukum adat, dan delik adat yang merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia karena delik adat itu sejak merdeka eksistensinya diakui oleh negara. Hukum adat juga menjadi puncak-puncak kebudayaan yang harus diakui jika kita konsisten dengan Bhinneka Tunggal Ika.
“Didalam KUHP ada dua buku yakni ketentuan umum dan tindak pidana, sedangkan Wvs ada tiga buku. Selama ini percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana. Di dalam KUHP baru bahwa percobaan tersebut hanya diancam dengan denda kategori dua dari delapan kategori denda. Penonjolan keadilan di atas kepastian hukum. Prinsip ini hidup didalam doktrin dan praktik peradilan yang tidak tertulis,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan Prof Marcus, jika ada benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka harus diutamakan keadilan. Setiap warga negara berhak memperoleh kepastian hukum yang adil. Prinsipnya bukan kepastian hukum menurut UU tetapi kepastian hukum menurut keadilan. Perundang-undangan pidana yang lain harus mengacu pada buku kesatu KUHP.
Sementara itu, Plt Dirjen Peraturan Perundang – Undangan Kemenkumham Dr. Dhahana Putra yang juga merupakan salah satu narasumber mengatakan perjalanan panjang pembentukan KUHP menjadi sesuatu yang berarti bagi kami. Cukup lama Indonesia dijajah belanda, sejak itu Indonesia menggunakan WvS dari Belanda.Keinginan untuk merubah KUHP sudah dilakukan sejak 1958 sejak adanya LPHN. Selama 7 Presiden dan 7 Pemerintahan masa perjuangan untuk merubah KUHP.
Disisi lain ada pernyataan negatif bahwa RKUHP disahkan terburu-buru dan tidak ada sosialisasi padahal sudah sejak lama dari 1963 dibahas serta semua pasal-pasal ada kajiannya,” ucap Plt Dirjen Peraturan Perundang – Undangan Kemenkumham.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Surastini Fitriasih menyebutkan keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yakni bertitik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait pidana dan pemidanaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability), dan pertanggungjawaban pengganti (Vicarious Liability).
” Hukum pidana mengatur antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Ini juga tercermin dari hal-hal yang dipertimbangkan dari hakim saat menjatuhkan pidana. Rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas. Bersifat terbuka artinya masih dimungkinkan pertumbuhan atau pengaturan hukum pidana di luar KUHP di kemudian hari.” ujar Surastini Fitriasih.
***