Mahupiki dan Para Guru Besar Hukum Pidana Gelar Sosialisasi KUHP Baru di Kota Ternate
Ternate – DPR RI telah resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi sebuah Undang-Undang (UU). KUHP baru tersebut terdiri dari 37 bab, 624 Pasal dan 345 halaman yang terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelas.
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerjasama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Khairun Ternate menggelar acara sosialisasi KUHP baru di Hotel Sahid Bela Ternate, Maluku Utara, Senin (30/1).
Narasumber acara sosialisasi ini adalah Plt. Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham RI, Dr. Dhahana Putra SH, M.Si, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, dan Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Dr. Surastini Fitriasih SH, MH.
Sekjen Mahupiki, Ahmad Sofian mengatakan, Mahupiki dengan FH Universitas Khairun menyelenggarakan sosialisasi yang bertujuan tidak hanya menginformasikan bahwa kita punya KUHP baru, tetapi juga mendialogkan KUHP agar publik secara sederhana memahaminya.
“Banyak aspek yang nanti akan dibahas di acara ini. Stakeholder dapat bertanya langsung pada narasumber dibandingkan bertanya lewat media massa atau media sosial, karena ditakutkan jawabannya tidak tepat,” kata Ahmad.
Rektor Universitas Khairun, Dr. M. Ridha Ajam, M.Hum mengatakan kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan kepada peserta terkait kehadiran KUHP baru dan berlangsung secara daring yang dihadiri oleh Forkopimda di Maluku Utara.
“KUHP Baru menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat hukum Indonesia, mengingat KUHP Baru ini menjadi mahakarnya anak bangsa. KUHP dibuat dan disusun oleh pakar dan ahli di Indonesia yang sudah mengikuti perkembangan hukum di dunia,” kata Dr. M. Ridha.
Dr. Dhahana Putra mengatakan terdapat misi dari KUHP baru yaitu rekodifikasi terbuka dan juga masih mengakui terkait undang-undang yang lain yang diatur terkait ketentuan pidana. Lalu harmonisasi juga cukup menarik pada saat Indonesia memiliki komitmen terkait hak asasi manusia.
“Sudah ada pemikiran penggantian KUHP yang saat ini. KUHP sebelumnya pendekatan adalah semua perbuatan pidana. Menjadi suatu permasalahan karena masing-masing lembaga menganut berbeda-beda, sehingga membutuhkan produk hukum yang mengadopsi restorative justice,” katanya.
Di tempat yang sama, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto mengatakan banyak keunggulan KUHP baru dibandingkan dengan KUHP lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS). Diantaranya adalah hukum pidana adat itu merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia.
“KUHP baru bertitik tolak dari asas keseimbangan dan merupakan rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas. Meskipun hukum adat berbeda beda, tetapi kita tetap satu. Maka perbedaan dari daerah satu dengan daerah yang lain itu harus diakui, maka delik adat harus masuk dalam sistem hukum pidana nasional,” ujar Prof. Marcus.
Sementara itu, Dr. Surastini Fitriasih mengatakan keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yakni pada titik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait pidana dan pemidanaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak _(strict liability)_, dan pertanggungjawaban pengganti _(vicarious liability)_.
“Keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yaitu bertitik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana terbuka dan terbatas, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak, dan pertanggungjawaban pengganti,” jelas Dr. Surastini.