Gelar Sosialisasi di Semarang, MAHUPIKI dan Pakar: KUHP Baru Upaya Demokratisasi Hukum Pidana Indonesia

Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Dr. Ahmad Sofyan

 

Semarang – Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Dr. Ahmad Sofyan, mengatakan sosialisasi KUHP Baru ini merupakan suatu hal yang positif agar masyarakat dari segala lapisan dapat memahami isi dari KUHP Baru. Hal itu penting agar pemahaman masyarakat terhadap KUHP Baru tidak terpisah – pisah dan memahaminya secara utuh serta mendalam.

“Selain itu, KUHP Baru ini bersifat demokratis karena telah mendapat masukan dari berbagai pihak termasuk dari pakar – pakar hukum Indonesia dan menjadi produk hukum anak bangsa yang telah menggantikan produk masa kolonial,” ujar Sekjen MAHUPIKI Ahmad Sofyan saat menghadiri acara sosialisasi KUHP baru yang diselenggarakan oleh MAHUPIKI dan Universitas Negeri Semarang di Semarang Jawa Tengah, Rabu (1/2/2023).

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo menilai KUHP Baru sudah sangat demokratis dan telah menyesuaikan dengan kondisi Indonesia serta kebudayaan Indonesia dimana hukum adat atau Living Law menjadi salah satu isu aktual yang ada dalam KUHP Baru.

“Hukum pidana adat (delik adat) yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah,” ungkap Prof Harkristuti.

Menurutnya, penting memberlakukan hukum pidana adat melalui Peraturan Daerah agar memperkuat kedudukan hukum pidana adat.

“Dengan penegasan hukum pidana adat menjadikan ketentuan tersebut memiliki kepastian hukum,” tegas Guru Besar Hukum Universitas Indonesia itu.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo juga menyinggung tentang perbuatan cabul. Dia menjelaskan bahwa perbuatan cabul dipidana jika dilakukan di muka umum, dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dipublikasikan sebagai muatan pornografi.

“Perbuatan cabul yang dilakukan di ruang tertutup/privat, tanpa kekerasan dan tidak untuk materi pornografi, tidak dapat dipidana” tutur Prof Harkristuti.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UI, Prof. Topo Santoso mengatakan salah satu perbedaan antara KUHP baru atau nasional dengan KUHP yang lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah sudah munculnya pembahasan beserta naskah akademiknya dalam bab atau buku tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.

Prof. Topo menegaskan sejatinya KUHP nasional ini merupakan bentuk pembaruan atau update dari yang lama dengan mengadopsi atau mengacu KUHP WvS dan telah secara demokratis mendapat masukan dari berbagai macam pihak agar KUHP Baru ini benar – benar menyerap aspirasi masyarakat.

“Dalam KUHP nasional sebagian mirip dengan KUHP lama, tetapi salah satu yang baru adalah munculnya pembahasan tindak pidana dengan perantara alat yang sebelumnya tidak ada”, ucapnya.

Pada acara yang sama, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, Prof Indriyanto Seno Adji menjelaskan bahwa dalam pengesahan KUHP Nasional seluruhnya telah mempertimbangkan dan mengakomodir banyak masukan dari masyarakat, praktisi hukum hingga para akademisi.

“KUHP nasional yang baru saya nilai sangat progresif, moderat, netral dan demokratis dengan mempertimbangkan dan mengakomodir masukan-masukan dari masyarakat sipil, praktisi dan akademisi hukum. Bahkan representasi masyarakat adat sebagai bentuk meaningful public participation sesuai mandat UU,” kata Indriyanto.

**