Lukas Enembe Harus Hadapi Proses Hukum
Lukas Enembe Harus Hadapi Proses Hukum
Oleh : Alfred Jigibalom )*
Gubernur Papua Lukas Enembe harus menghadapi proses hukum dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Sikap tersebut diperlukan mengingat Lukas adalah seorang pejabat publik yang harus memberikan contoh baik kepada masyarakat.
Kasus Lukas Enembe masih berlarut-larut karena dia masih bersembunyi di rumahnya dengan alasan sakit. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah 2 kali melayangkan panggilan tetapi dia mengabaikannya. Tim kuasa hukum Lukas juga terus melindungi, bahkan memanggil dokter dari Singapura, untuk membuktikan bahwa Lukas benar-benar sakit parah sehingga tidak bisa terbang ke Jakarta.
Masyarakat menjadi geram karena Lukas tidak mau menghormati proses hukum. Wakil Ketua Departemen Pemuda dan Anak Gereja Bethel Indonesia Provinsi Papua, Isac Imbiri, menyatakan bahwa Lukas sebagai pemimpin harus siap menghadapi KPK terhadap kasus suap dan korupsi. Bukannya justru menghindarinya dengan membuat opini yang mengada-ada, seperti mengadakan pemeriksaan di ruangan terbuka.
Dalam artian, Lukas harus bersikap jantan dengan datang ke Gedung KPK. Jika dia menolak panggilan, maka sama saja tidak menghormati proses hukum. Padahal sebagai pejabat, seharusnya ia paham bagaimana hukum bekerja dan menghormati prosesnya. Namun ia malah bertindak seenaknya sendiri.
Kasus Lukas juga tak kunjung selesai karena ia meminta pemeriksaan di ruangan terbuka. Padahal tidak pernah dicatat dalam sejarah, ada pemeriksaan seperti ini. Untuk apa pemeriksaan secara terbuka? Berarti ia tidak menghormati hukum dan tidak percaya akan kinerja para penyidik KPK.
Jika ada pemeriksaan di ruangan terbuka maka ada banyak orang Papua yang menontonnya. Apakah Lukas meminta perlindungan mereka? Seharusnya dia paham hukum dan tidak meminta sesuatu yang ganjil seperti itu. Proses hukum harus tetap berjalan, dan ia malah melambatkannya dengan cara berpura-pura sakit.
Isac Imbiri juga menolak pernyataan bahwa Lukas Enembe adalah kepala suku besar Papua, karena jabatan itu tidak pernah ada. Pengukuhan kepala suku besar tanah Papua sangat tidak masuk akal. Jabatan kepala suku adalah turun-temurun dan tidak ada yang namanya kepala suku besar, karena di atas kepala suku hanya ada Tuhan.
Lukas seolah-olah ingin menunjukkan kekuasaannya bahwa selain menjabat sebagai Gubernur Papua, ia juga seorang kepala suku besar, yang membawahi kepala-kepala suku yang lain. Padahal jabatan itu hanya karangannya sendiri. Walau misalnya ia seorang kepala suku, tetapi jika tersangkut kasus, harus tetap menaati proses hukum dan menjalani penyidikan.
Kemudian, masyarakat juga geram karena tim kuasa hukum Lukas meminta agar pemeriksaan sang gubernur dengan menggunakan hukum adat, bukan hukum negara. Padahal kasusnya adalah korupsi dan tidak menyangkut adat manapun, sehingga tidak bisa diganti dengan hukum adat. Mungkin dipikirnya dengan cara ini maka cukup memberi uang dan barang sebagai denda, tak usah dipenjara.
Dalam RKUHP memang disebutkan hukum adat bisa berlaku, tetapi bukan pada kasus korupsi. Bagaimana bisa seorang koruptor disangkut-pautkan dengan adat? Korelasinya jauh sekali.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesi, Prof. Suparji Ahmad, menyatakan bahwa sebagai warga negara sekaligus penyelenggara negara, Lukas Enembe seharusnya taat hukum. Status tersangka Lukas sudah valid karena memiliki minimal 2 alat bukti. Seharusnya dia kooperatif dan memenuhi panggilan KPK.
Dalam artian, sebagai Gubernur seharusnya Lukas menaati hukum, karena seorang pemimpin tingkat provinsi. Ia wajib memberi teladan kepada warga Papua, bukannya memberi contoh yang buruk. Jika sang gubernur mangkir, maka masyarakatnya otomatis kecewa berat, karena pemimpinnya ternyata seorang pengecut.
Lukas tidak mau dipanggil dan tidak mau juga dijemput secara paksa, padahal sesuai hukum, setelah 2 kali mangkir maka dia akan dijemput paksa. Dia tidak merasa bersalah dan tidak mau menghadapi proses hukum, sehingga masyarakat makin geram. Lantas bagaimana kasusnya bisa selesai jika ia seperti ini?
Kemudian, istri dan anak Lukas juga mangkir dari panggilan KPK, dan mereka melakukannya atas saran dari tim kuasa hukumnya. Saat ini mereka berstatus sebagai saksi dan KPK butuh keterangan lebih lanjut mengenai korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Lukas Enembe.
Rekening pribadi istri Lukas, Yulce Wenda, sudah dibekukan. Hal ini dilakukan karena diduga ia ikut menikmati aliran dana korupsi. Sementara rekening Lukas juga bernasib sama, dan yang mengejutkan adalah ada lebih dari 70 miliar rupiah di dalamnya. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa Lukas melakukan korupsi, karena gajinya hanya berkisar 3 juta rupiah.
Lukas Enembe tidak boleh berdiam diri dan berpura-pura sakit, sampai mengundang tim dokter dari Singapura ke rumahnya. Seharusnya dia bersikap berani dan menghadapi proses hukum dengan jantan. Kalau ada penjemputan paksa dari KPK, ia juga tak boleh mengerahkan massa.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali