RKUHP Tidak Bertentangan dengan Hukum Adat
RKUHP Tidak Bertentangan dengan Hukum Adat
Oleh: Dinda Rizky Rahmawati )*
Di beberapa daerah tertentu di Indonesia, masih ditemui ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum. Hukum adat atau yang biasa disebut hukum kebiasaan merupakan hukum yang merujuk pada serangkaian aturan yang tercipta dari tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga menjadi sebuah hukum yang ditaati secara tidak tertulis. Meskipun hukum adat tidak tertulis secara resmi, namun tetap diakui oleh negara sebagai hukum yang sah.
Tujuan dari berlakunya hukum adat di Indonesia adalah untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan siapapun yang melanggar sah untuk dikenakan sanksi. Masyarakat hukum adat itu sendiri merupakan sekelompok orang yang hidup secara turun temurun dalam bentuk kesatuan ikatan luhur, memiliki kesamaan wilayah geografis dan identitas budaya yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil menilai hukum adat tidak boleh dianggap remeh. Implementasi RKUHP soal hukum adat ini tidak bertentangan dan dapat berjalan dengan sinkron jika dipraktikan di lapangan. Misalnya, pemerintah memberikan keleluasan kepada daerah-daerah yang ingin memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan sesuai hukum adat yang berlaku di daerah tersebut, dengan catatan kesalahan yang dilakukan bukan merupakan kesalahan hukum pidana.
Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah (Perda) masing-masing tempat berlakunya hukum adat. Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam undang-undang ini.
Hukum adat diatur dalam Bab XXXIII tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat. Disebutkan bila asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Dalam RKUHP Pasal 597 ayat 1 berbunyi “Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang diancam dengan pidana”. Sambungnya, Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat 1 huruf f berupa “Hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana”. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang berkembang di kehidupan bermasyarakat.
Bagaimanapun hukum adat bukan sekadar istilah biasa, melainkan hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat. Dalam studi pluralisme hukum, hukum adat dipahami bahwa tidak identik dengan rumusan teks hukum secara normatif baik hukum negara, adat, agama, maupun norma hukum tidak tertulis.
Teks hukum selalu berisi norma ideal, cita-cita melindungi masyarakat dari kejahatan, keserakahan, dan mendistribusi keadilan. Namun hukum adat yaitu ketika pelanggaran hukum diselesaikan di pengadilan, komunitas adat, atau komunitas agama. Disitulah Pasal mengalami ujian melalui perdebatan hakim dan para pihak. Kemudian lahirlah pertimbangan dan putusan hakim. Artinya, hukum adat adalah putusan hakim atau otoritas dalam komunitas, hasil ujian terhadap teks hukum, dan inilah hukum yang sungguh akan ditaati, nyata berlaku dalam masyarakat.
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries menanggapi kekhawatiran mengenai pengaturan tentang hukum adat yang hidup di masyarakat serta isu stigma dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan. Terkait hukum adat yang berlaku akan ditegaskan dalam Peraturan Daerah agar diperkuat kedudukan hukum delik adat dan sekaligus memberikan kepastian hukum. Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (Pasal 601) yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda kategori II atau 10 juta Rupiah.
Ditambahkannya, pengaturan ini juga telah sesuai dengan pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021.
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur oleh Undang-Undang.
Isu RKUHP yang melakukan kriminalisasi terhadap kelompok rentan, sangat tidak bisa dibenarkan karena hal ini dilakukan untuk menjaa keseimbangan dan telah sesuai dengan konvensi hak sipil dan politik.
RKUHP netral terhadap gender termasuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara seimbang dengan cara memperkenalkan double track system, yaitu selain mengatur pidana, juga mengatur tindakan bahwa tidak semua pelaku tindak pidana harus berakhir di penjara.
*) Penulis merupakan pemerhati hukum pidana Yayasan Hukum Pidana Nusa Bangsa